Tonil Ende spirit seni Nasionalisme Bung Karno
![]() | ||||||||
Bung Karno |
![]() | ||||||
Rumah pengasingan Bung Karno di ENDE |
KOMPAS.com - Soekarno menuturkan itu dalam biografi yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Bung Karno juga bercerita, tempat menyendiri yang paling dia gemari adalah di bawah pohon sukun (Artocarpus communis) yang menghadap ke laut.
Dari
perenungannya, Bung Karno menyadari bahwa semangat untuk meraih
kemerdekaan tidak bisa berhenti. Namun, tak bisa lepas dari kehendak
semesta.
Rumah beratap seng di Jalan Perwira, Ende, menjadi saksi bisu keberadaan Soekarno di Ende, 75 tahun silam.
Di
dalam rumah itu tersimpan sejumlah barang peninggalan Soekarno. Dalam
sebuah lemari kaca ada dua tongkat kayu yang biasa dibawa Soekarno.
Salah satunya ada kepala monyet di ujungnya. Tongkat itu biasa digunakan
Bung Karno ketika berbicara dengan penguasa kolonial, sebagai bentuk
satire.
Di dinding ruang depan tergantung lukisan foto diri
Soekarno karya Affandi yang pudar termakan usia dan suhu lembab. Begitu
juga lukisan cat minyak perempuan Bali sedang sembahyang karya Bung
Karno serta dokumentasi foto Bung Karno bersama istri, Inggit Ganarsih,
dan teman-teman.
Dalam lemari kaca juga ada map berwarna oranye
yang sudah pudar berisi naskah-naskah tonil karya Bung Karno. Selama
masa pembuangan di Ende, Bung Karno menghasilkan 13 judul tonil untuk
mengobarkan semangat rakyat mengusir Belanda. Judulnya: Rahasia Kelimutu
(dua seri), Tahun 1945, Nggera Ende, Amuk, Rendo, Kutkutbi, Maha Iblis,
Anak Jadah, Dokter Setan, Aero Dinamik, Jula Gubi, dan Siang Hai
Rumbai.
Pengikut setia Soekarno, Djae Bara, sebelum meninggal akhir 1990-an, pernah memaparkan kepada Kompas bahwa
dalam satu karya tonil tahun 1935- 1936, Bung Karno meramalkan
Indonesia akan merdeka tahun 1945. Kemerdekaan itu tidak direbut dari
Belanda, melainkan dari sesama bangsa Asia.
Sayang, sebagian
naskah tonil itu kini tidak jelas keberadaannya. Menurut penjaga situs
Bung Karno, Safruddin Pua Ita, yang tersimpan di Ende hanya tujuh naskah
salinan dari hasil prakarsa Ibrahima Umarsjah (almarhum), asisten
sutradara Bung Karno, tahun 1980-an. Ibrahima merangkai kembali potongan
naskah berdasarkan penuturan para pengikut setia Soekarno, yang juga
pemain sandiwara.
Safruddin adalah cucu Abubakar Damu (almarhum),
salah satu pengikut setia Bung Karno di Ende. Tugas Safruddin tidak
ringan. Perawatan situs mengandalkan uang derma pengunjung. Dalam
sebulan, sumbangan terkumpul tidak lebih dari Rp 500.000. Honor
Safruddin Rp 200.000 per bulan yang dibayar tiga bulan sekali.
Sekitar
100 meter dari rumah, di Lapangan Perse, ada pohon sukun tempat Bung
Karno biasa merenung. Pohon itu lebih dikenal sebagai ”pohon Pancasila”.
Sejak tahun 2000, nama Lapangan Perse pun diganti menjadi Lapangan
Pancasila.
Gedung Imakulata—milik paroki katedral Ende, tempat
Bung Karno mementaskan tonil-tonilnya, di Jalan Irian— rusak parah.
Tangga dan atap gedung hancur.
Kesaksian
Sejauh
mana pengalaman Soekarno di Ende berpengaruh dalam merumuskan Pancasila
belum banyak terungkap. Banyak saksi mata sudah tiada. Dari 47 anggota
grup tonil Kelimoetoe yang dibentuk Bung Karno, tinggal satu orang
tersisa, yaitu Umar Gani (93).
Di kediamannya di Kelurahan
Paupanda, Kecamatan Ende Selatan, Kabupaten Ende, Umar menuturkan,
rumusan tentang Pancasila, terutama prinsip ketuhanan dan keadilan
sosial, berkembang dalam pemikiran Bung Karno selama di Ende. Menurut
Umar, Bung Karno terkesan pada kerukunan hidup antarumat beragama di
Ende saat itu.
Hasil penelitian Yuke Ardhiati, arsitek profesional
yang juga pengajar Fakultas Seni Rupa dan Desain Universitas Trisakti,
pemikiran Bung Karno di Ende sudah meliputi semua sila Pancasila. Saat
itu, Bung Karno menyebut sebagai Lima Butir Mutiara.
Bupati Ende
Don Bosco Wangge juga menyebut Ende sebagai ”rahim” Pancasila. ”Sejarah
perjuangan bangsa kita tak utuh tanpa pengakuan kalau Pancasila
dikandung di Ende,” katanya.
Minimnya infrastruktur fisik dan
sosial membuat NTT terisolasi dan berkubang dalam kemiskinan. Banyak
bantuan, dari dalam maupun luar negeri, dikucurkan, tapi NTT tetap
dihantui rawan pangan, gizi buruk, mutu pendidikan rendah, pengangguran,
dan kemiskinan.
Ende dan sejumlah kabupaten lain di NTT masih
jauh dari standar maju dan makmur sebagaimana dibayangkan Bung Karno.
Karena itu, perjuangan untuk pemerataan kesejahteraan harus terus
dilakukan.
(ANS/SEM/SUT)
Sumber :
Kompas Cetak
Jiwa Nasionalisme di dalam karya Tonil yang diciptakan oleh Bung Karno di masa pengasingan di daerah Kabupaten Ende,NTT. Bung karno merupakan salah satu orang besar yang mampu menciptakan karya seni drama musikal tonil dari rakyat jelata dengan spirit Nasionalisme Bangsa Indonesia...
(Dand)
Komentar
Posting Komentar